Cerpen : Yudha Zheano
Ahada
Hujan sore itu membasahi bumi dengan lembut,
butir-butir air yang turun dari langit itu membasahi daun-daun yang kering.
Pelan-pelan, titik hujan di daun-daun itu meluruh menjadi aliran-aliran air
bening yang mengalir pelan menitik meninggalkan dedaunan yang kini licin
berkilau. Air hujan yang menitik dari daun tadi kini membasahi lantai beranda
sebuah rumah bergaya minimalis bercat biru.
Di beranda itu, duduk manis di kursi plastik
seorang cowok jangkung berkacamata. Di tangan kanan cowok itu tergenggam sebuah
handphone touchscreen berwarna hitam. Sementara itu di depan si cowok, tepatnya
di atas meja kayu, juga ada laptop biru. Namun mata cowok itu samasekali tidak
memperhatikan handphone maupun laptop-nya, dengan tatapan kosong, cowok itu
memandangi butiran air hujan yang jatuh pelan-pelan ke selokan kecil di depan
beranda.
Mendadak cowok berkacamata itu
menghembuskan nafas panjang sambil meletakkan handphone-nya ke atas meja. Lalu
tangannya bergerak ke arah mouse laptop, menggeser-gesernya kemudian mengklik
mouse mungil itu beberapa kali.
“Aku tak mengerti apa maksud
semua ini” gumam cowok itu sambil menekan beberapa tombol di keyboard laptop-nya.
“Untuk apa…………………”
Ucapan cowok itu tiba-tiba
terhenti saat ia melihat ke arah jalan
depan rumah. Saat itu, sebuah sepeda motor Vixion
hitam nampak melaju lambat ke arah rumah si cowok. Kemudian motor itu
melaju makin lambat seperti akan berhenti, si pengendara motor memakai jaket
hitam, di balik kaca helm hitamnya si pengendara kelihatan memandang dengan
lekat ke arah cowok berkacamata tadi. Durasi dua puluh detik, motor hitam tadi
langsung melaju kencang meninggalkan si cowok berkacamata yang tertegun kaku.
Merasa ada yang tidak beres,
cowok itu mengambil handphonenya. Kemudian dia menghubungi seseorang.
“Halo Fer, ……….”
“Ya Ren, ada apa lo? tumben nelfon
gue sore-sore?”
“Gue nggak tau, tapi feeling gue mengatakan kalo ada yang nggak beres”
“Hah? Nggak beres? Rendy, lo emang dari dulu nggak beres-beres bro,
emang kenapa lo, he? Koq khawatir banget? Dompet lo kena copet ya?”
“Bukan bego! Dompet gue masih aman terkendali dalam kantong koq”
“Terus??”
“Tadi ada orang pake jaket hitam yang
kelihatannya memata-matai gue, dia sengaja melambatkan motornya terus memandang
ke gue kira-kira tiga puluh detik, menurut lo dia intel atau mata-mata
perampok?”
“Hmmm, lo yakin dia merhatiin lo?”
“Ya nggak mungkin dia merhatiin buah mangga di depan rumah gue khan?”
“Bisa jadi itu intel, tapi lo nggak maling apa-apa khan?”
“Nggaklah, kemaren gue
cuma maling goreng ayam lo koq”
“Kalo gitu lo waspada aja deh,
siapa tau ada yang salah dari lo”
“Ya deh, kayaknya makan goreng ayam
lo kemaren bikin gue jadi bermasalah”
“Udah ya, gue mau makan nih”
“Nggak ngajak gue lo?”
“Nggak ada gunanya, cuma menghabiskan sambal gue kalo lo ikut”
“Tut…….tut……….tut……….”
Usai pembicaraan di handphone itu, cowok berkacamata yang ternyata
bernama Rendy itu kembali memandangi hujan yang turun makin deras.
Kegelisahannya dengan orang bersepeda motor yang memandanginya seperti harimau
memandang kijang itu membuatnya jadi semakin gelisah saat ia teringat dengan Astri.
Astri adalah pacar Rendy, bisa di bilang kalo Astri adalah gadis yang
cukup beruntung bisa mendapatkan Rendy. Soalnya di kampus, banyak cewek lain
yang juga tertarik dan mengejar-ngejar Rendy. Maklum, Rendy itu ganteng, cool dan juga pengurus BEM (Badan
Eksekutif Mahasiswa).
Sebenarnya sekarang Rendy sedang sakit hati dengan Astri. Rendy merasa Astri
sudah tidak menghargainya lagi. Sejak seminggu ini, perilaku Astri terasa
semakin aneh dan makin menjauh dari Rendy.
Entah kenapa, Astri sekarang
makin sulit untuk di ajak ketemuan. Alasannya sibuk melulu. Selain itu Rendy
juga sempat melihat Astri sedang berbicara serius dengan beberapa orang tak di
kenal yang gerak-geriknya mencurigakan. Saat Rendy bertanya siapa orang-orang
itu, Astri hanya menjawab mereka itu relasi bisnis papanya.
Dan yang paling membuat Rendy
heran sekarang adalah kenapa Astri meminta agar Rendy mengatakan pada
teman-temannya bahwa mereka sudah putus. Padahal cewek-cewek lain kalau pacaran
dengan Rendy sengaja di beritahukan ke seantero kampus, biar hubungannya mereka
dengan Rendy menjadi gossip. Namun Astri malah menyuruh Rendy untuk
menyembunyikan hubungan mereka. Apa maunya
sih anak ini? gumam Rendy pusing.
Satu lagi yang membuat Rendy
makin pusing adalah, sekarang susah banget buat mencari Astri. Sudah hampir
seminggu ini Rendy keliling-keliling kampus untuk mencari Astri, namun yang di
cari tidak nampak batang hidungnya. Bahkan teman-teman Astri pun bilang kalo
mereka juga jarang ketemuan sama Astri.
Rendy hampir menyerah
untuk mempertahankan hubungannya dengan Astri. Untung Handphone Astri akhirnya
aktif beberapa saat sebelum Rendy sampai pada puncak kesabarannya untuk bilang
“Astri, lo gue end!”
Begitu nada masuk tersambung ke handphone Astri,
Rendy langsung bicara dengan emosi.
“Tri, lo gimana sih?
udah seminggu hp lo nggak aktif-aktif! gue cari lo di kampus, nggak ada! gue
cari ke kost lo, nggak ada! gue udah capek tau nyariin lo! tapi lo nggak
menghargai itu. Lo menghilang gitu aja, sebenarnya lo lagi ngapain sih?”
Rendy langsung
menginterogasi Astri dengan emosi, kalo biasanya dia pake kata ‘sayang’
sekarang langsung pake kata ‘lo-gue’. Itu artinya Rendy sedang emosi tingkat
menengah, kalo emosi tingkat berat, mungkin dia bakalan lempar handphone-nya ke
jendela.
Dengan suara kayak anak kecil minta dibeliin
es krim, akhirnya Astri menjawab.
“Ren, maaf, sekali lagi maaf, aku tau aku udah
salah, aku udah bikin kamu…”
“Lo tau khan kalo lo salah?
“I……iya Ren, maafin aku
ya?
“Astri, lo tau nggak udah
berapa kali lo kayak gini sama gue? Dan lo selalu minta maaf kayak gitu setiap
gue marah!”
“Iya, tapi……..”
“Iya..iya…! lo kalau udah
kayak gini jawabnya iya iya terus”
“Ren, aku tau kalo aku tuh salah,
tapi percaya deh, aku selalu sayang kamu koq Ren”
Entah kenapa, begitu Astri
bilang sayang. Rendy malah tambah emosi.
“Heh, apa lo bilangTri? lo
sayang ama gue? terus lo menghilang terus dari gue sebagai tanda lo sayang pada
gue, gitu yah? makasih deh kalo gitu”
“Ren, …………..”
“Apalagi Tri? lo mau
apa lagi buat menghancurkan cinta gue ke elo?”
“Bukan, bukan itu Ren.
Aku benar-benar mau minta maaf sama kamu, yang…..yang kemarin itu memang
salahku” Astri berkata sambil mulai terisak-isak.
“Lo mau nangis di sini?
mending nggak usah deh, ngapain lo buang-buang air mata buaya lo?”
“Nggak….kamu salah
mengerti Ren, kamu nggak ngerti………………”
“Siapa yang nggak
ngerti? Gue yang bela-belaan cari lo ke kost lo, ke kantor palsu lo, ke rumah
palsu lo, atau lo yang sok-sok sayang tapi cuma bikin gue sakit hati?”
Rasanya handphone di
telinga Rendy makin panas, Allan nggak
tau itu handphonenya yang panas atau telinganya yang sudah kepanasan
mendengarkan suara Astri.
“Ren, aku akui kalo aku
memang salah, seratus persen salah………….”
“Bagus lah kalo lo udah
nyadar”
Rendy merasa kalo dia
lebih baik cuek.
“Ren, lo mau khan maafin
aku, aku janji nggak akan kayak gini lagi”\
Murah banget lo minta maaf ya Lan,
gumam Rendy kesal.
“Lo harus tau betapa
sakit hati gue saat bilang gue maafin lo!”
“Ya Ren, aku tau koq
betapa sakitnya hati kamu, “
“Dan lo masih berencana buat menyakiti
hati gue………….”
“Nggak Ren, nggak akan.
Sumpah deh”
“Sekali lagi lo bikin
ulah kayak gini, gue nggak punya rasa maaf dan sayang lagi sama lo! gue harap
lo ngerti itu!”
“Aku pasti ngerti itu
Ren”
Dan selanjutnya, emosi pun mulai mereda.
Hingga mereka pun akhirnya ngomong-ngomong nggak jelas. Ya, walaupun Rendy
masih sakit hati dan curiga dengan Astri, namun dia lebih memilih untuk
memendam rasa itu.
Di akhir percakapan mereka, Astri mengajak
Rendy makan siang di sebuah restoran dekat kampus.
***********************
Restoran dekat
kampus, pukul 1 siang
Rendy dan Astri
nampak duduk berdua dengan mesra di meja paling ujung. Sesekali mereka terlihat
bercanda. Nampaknya Rendy sudah melupakan kejadian kemaren saat ia marah-marah
ke Astri, buktinya ia sudah terlihat begitu mesra kembali dengan Astri.
Namun, masih ada
satu hal yang menggelisahkan Rendy, dan hal itu berhubungan dengan Astri yang
sekarang sedang duduk manis di depannya.
Tadi pagi, Rendy
bertemu dengan Joshua, temannya sekaligus asisten-nya di sekretariat BEM, dan
Joshua membawa Rendy ke sebuah pojokan kampus. Terus Joshua ngomong.
“Ren, gue mau
bilang pesan papa gue sama lo, “
“Ya, emang papa lo
pesan apaan Josh?”
Rendy heran, papanya si Joshua itu adalah
polisi. Wah, jangan-jangan yang
memata-matai gue di rumah waktu itu memang intel agennya si papa Joshua, keluh
Rendy dalam hati.
“Lo masih pacaran sama Astri khan?” tanya
Joshua santai.
“Ah,….. eh. masih
koq, emang kenapa? lo cemburu yaa?” Rendy mencoba bercanda. Namun sebenarnya
dia kaget betul. Kenapa Joshua malah
nanya hubungannya dengan Astri? Sejak kapan anak jurusan ekonomi yang jadi
sekretaris BEM itu peduli soal pacar-pacaran? Awalnya Rendy mau bilang kalo
dia udah putus sama Astri, tapi feelingnya
merasa nggak ada gunanya berbohong sama Joshua.
“Pesan papa gue,
lo hati-hati sama si Astri ya”
“Apa?” Rendy
merasa nggak yakin dengan perkataan Joshua.
Joshua memandang Rendy penuh arti, lalu dia
bicara lagi,
“Kata papa gue,
lo mesti hati-hati sama Astri!”
Rendy masih bengong, emang ada apa dengan Astri? katanya dalam hati.
“Udah, gue balik
ke sekretariat dulu ya, banyak dokumen yang harus di arsip ulang nih” Kata
Joshua sambil berbalik, lalu dengan santai melangkah pergi.
Dan itulah yang
membuat Rendy gelisah sekarang. Rasa-rasanya yang mesti membuat dia curiga dari
Astri hanyalah sikapnya yang sering menghilang secara misterius dan pernah
kelihatan sedang bicara serius dengan beberapa orang yang gerak-geriknya
mencurigakan.
Rendy jadi pusing memikirkan apa makna pesan
papanya Joshua tadi. Bahwa ia harus berhati-hati dengan Astri, perasaan Astri bukan kriminal deh. Dan
dari mukanya, Astri juga nggak punya ciri-ciri kriminal, kecuali tatapan
matanya yang nampak merah dan gerak-geriknya yang sering gelisah, dan nggak
bisa betah berlama-lama di suatu tempat.
Nggak mungkin papanya Joshua kirim pesan kayak
gitu biar gue waspada dan mengawasi Astri agar jangan sampai cewek itu selingkuh
pikir Rendy.
Pusing,
Rendy akhirnya memilih untuk melupakan pesan itu.
Sebelum pulang
dari restoran, Astri menitipkan sebuah map tebal pada Rendy untuk di berikan
pada seseorang yang menurut Astri adalah asisten dosen di kampus. Orang itu
akan menunggu di depan kantor Rektor.
“Oh, aku jadi
tukang pos lagi nih, nganterin paket apaan nih?” kata Rendy. Astri memang sudah
beberapa kali mengirimkan paket-paket tebal seperti itu ke beberapa orang di
kantor rektorat kampus lewat Rendy.
“Koq nggak kamu
aja yang ngantar sendiri?” tanya Rendy.
“Aku mau cepetan
ke fakultas, ada kuliah siang di sana. Lagian aku juga malas ke kantor
rektorat, soalnya aku ada utang di sana” jawab Astri sambil tersenyum kecil.
“Ya udah deh,
hati-hati ke fakultas ya” kata Rendy.
“Makasih
Ren,…………….”
Mendadak Astri
menoleh ke belakang, Rendy mengikuti pandangan Astri, di sudut belakang
restoran terlihat tiga orang memakai rompi hitam sedang celinguk-celingukan
mencari tempat duduk kosong, salah seorang di antaranya nampak sedang berbicara
dengan sebuah radio komunikasi kecil.
Tiba-tiba wajah Astri pucat dan tegang. Ia
melirik ke kiri kanan. Lalu berkata
cepat-cepat.
“Ren, aku pulang
dulu ya, ……”
“Loh? Koq kamu pucat?” tanya Rendy, ia heran
juga melihat perubahan sikap Astri itu.
“Ehhmmm,
kayaknya aku udah telat nih, aku pergi dulu ya,……”
“Ada apa sih Lan?” Rendy penasaran.
“Nggak, nggak ada apa-apa, bye sayang aku
pergi dulu yah………”
“Muuaacchhh……!”
Mendadak
Astri mencium pipi Rendy.
Rendy
bengong, pipinya langsung bersemu merah.
Wah, rezeki nomplok nih, gumamnya. Ada
apa ya, koq si Astri mendadak cium gue? Hehehe……kayak di sinetron aja, kata
Rendy dalam hati.
Detik
berikutnya Astri hilang dari pandangan Rendy. Astri menghilang cepat di
kerumunan orang-orang yang keluar masuk restoran.
Rendy
teringat dengan tiga orang yang membuat Astri pucat tadi, ia melihat kembali ke
arah pojokan restoran. Namun ternyata orang-orang itu sudah hilang, eh tidak,
dua orang di antaranya terlihat berjalan cepat ke arah hilangnya Astri tadi.
“Aneh” gumam
Rendy. Instingnya tiba-tiba memerintahkanya untuk segera secepatnya pergi dari
tempat itu.
**************
Depan kantor
rektorat kampus, pukul lima sore.
Rendy
berjalan menuju kantor rektorat kampus, dia membawa sebuah map tebal. Ya, itu
map tebal yang tadi di titipkan Astri padanya.
Kira-kira dua
puluh meter di depan gerbang kantor rektorat kampus, seorang pria berpenampilan
rapi menyambut Rendy.
“Titipan dari Astri ya?” tanya orang itu
sambil berusaha tersenyum ramah.
“Iya, ini mas” Rendy langsung menyodorkan
map tebal itu ke si pria berpenampilan rapi.
“Makasih banyak ya dek” kata pria
berpenampilan rapi itu.
Lalu pria itu berbalik dan mulai
melangkah agak tergesa meninggalkan Rendy.
Namun tiba-tiba,
“Angkat tangan kalian!” sebuah bentakan
keras terdengar dari belakang.
Rendy terkejut
setengah mati saat melihat ke belakang. Empat orang polisi, dua di antaranya
berpakaian preman dan merupakan orang yang di lihat Rendy tadi siang di
restoran sedang menodongkan pistol mereka padanya.
Rendy langsung
pucat, Ya tuhan ada apa ini? keluhnya
ambil mengangkat tangannya.
“Jongkok!” bentak salah seorang polisi itu
padanya.
Lalu tangan
Rendy di pelintir ke belakang, Rendy tercekat saat ia mendengar suara borgol
terkunci di tangannya.
Rendy masih shock sewaktu melihat lagi ke
depan. Rupanya pria berpenampilan rapi yang mengambil map tebal tadi sempat
lari dari polisi, namun sebuah peluru melumpuhkannya. Pria itu tersungkur,
lututnya robek oleh peluru.
Seorang polisi yang memegang radio
komunikasi berbicara di alat itu.
“Lapor, target A1 dan A2
telah kami lumpuhkan!” kata polisi itu.
Sebuah mobil polisi langsung muncul, lalu
turunlah beberapa polisi lagi. Salah seorang di antaranya adalah papanya
Joshua!
Papa Joshua itu langsung menuju ke arah
Rendy yang terduduk lemas denagn tangan
terborgol ke belakang.
“Kamu Rendy khan?” tanya papa Joshua itu.
“Ya pak” jawab Rendy pasrah.
“Rendy, saya khan
udah pesan kalau kamu harus hati-hati dengan Astri khan?”
“Ya pak, tapi khan wajar saya pacaran sama
Astri, itu khan nggak melanggar hokum, kenapa saya sekarang di tangkap pak?”
Tanya Rendy bertubi-tubi, ia benar-benar tidak mengerti dengan semua yang
terjadi padanya sore ini.
“Mungkin ini bisa menjelaskan” kata papa
Joshua singkat.
“Sersan, tolong buka map tebal itu dan
periksa isinya!”intruksi papa Joshua yang ternyata merupakan komandan
penyergapan itu pada seorang polisi lain.
“Siap Komandan!” jawab sersan itu.
Pertama yang Rendy
lihat, isi map itu adalah kertas-kertas yang di lipat-lipat. Namun di bagian
tengah kertas itu ada sesuatu yang menggembung.
Si sersan polisi
membuka lipatan kertas tadi. Ia mendekatkan wajahnya ke kertas itu untuk
melihat apa yang ada di dalam lipatan kertas tadi. Namun ternyata masih ada
lipatan lagi di dalam.
Sementara itu
Rendy menebak-nebak apa yang ada dalam map tebal itu. Apakah itu isinya bom? Tapi
koq rasanya terlalu kecil untuk bom ya?
Sekarang
lipatan kertas di map tebal tadi sudah terbuka semua, agak susah juga polisi
tadi membukanya.
Si sersan polisi mendongak, lalu dia berteriak
pada papa Joshua.
“Tangkapan bagus komandan! Empat paket
shabu-shabu! Di tambah enam paket daun ganja!”
Seorang polisi lainnya menyambung,
“Ya, ditambah seorang pengantar paket dan
seorang penerima paket!”
Mendadak kepala Rendy berkunang-kunang, jadi Astri selama ini
memanfaatkannya
untuk mengirim paket-paket narkoba?
Kenapa Astri menjebakku ke dunia peredaran
narkoba ini melalui indahnya cinta? Kenapa dia membuat cinta yang seharusnya
indah ini malah jadi begitu kotor dengan mencampurkan narkoba ke dalamnya?Pertanyaan-pertanyaan
itu membuat kepala Rendy semakin sakit.
“Bawa
mereka ke sel!” intruksi seorang polisi.
Mendadak semua
terlihat hitam oleh Rendy. Hitam dan gelap. Lalu Rendy tak ingat apa-apa lagi.
************************************
Begitu
Rendy membuka matanya lagi, dia kaget saat melihat sekelilingnya. Ternyata dia
sudah berada di ruang intrerogasi Polres. Rendy langsung teringat lagi kejadian
tadi sore, ah, sialan kenapa aku jadi
terlibat urusan ini? Kenapa aku terlalu percaya sama Astri? Gumamnya.
“Kreekk….!” Pintu ruangan itu terbuka.
Dua orang
polisi masuk. Mereka langsung duduk di depan Rendy.
“Tersangka Rendy Mahardika, terbukti telah membantu seorang pengedar
mengirimkan paket narkoba ke beberapa pengedar lain di wilayah kampus. Ada
tanggapan saudara Rendy?” interogasi polisi itu dengan dingin.
“Tidak,……tidak…… semua ini salah pengertian!” kata Rendy, tubuhnya
bergetar, bahunya tampak turun naik.
“Sayang
sekali Rendy, semua bukti mengarah padamu. Dan kami telah melakukan pengintaian
terhadap hubunganmu dengan Astri, buronan utama kami di kota ini” Bentak salah
seorang polisi berkulit hitam.
“Astri
hanya pacarku, aku tidak pernah tahu kalau dia itu pengedar narkoba, sumpah!”
“Tapi kau
membantunya mengirimkan paket-paket barang setan itu kampusmu khan?”
“Tapi aku
sama sekali nggak tau kalau paket itu isinya narkoba pak!”
“Baiklah,
kalau begitu, Sersan Hamid, segera bawa Astri itu ke sini”
“Kreeeekkk………”
pintu terbuka lagi.
Seorang
polisi dan seorang perempuan muda yang tangannya terborgol ke belakang
punggungnya masuk.
Perempuan
muda itu mendongak, lalu bertemu tatapan dengan Rendy, perempuan itu nampak
terkejut, ia mendadak berhenti dengan kaku. Rendy juga begitu ia terpaku
menatap ke arah Astri.
“Sekarang
Astri, apakah Rendy ini adalah teman pengedarmu juga?” bentak polisi yang
membawanya.
Rendy
menatap Astri makin tajam, rahangnya mengatup kaku. Kalau sampai Astri menjawab iya, mampuslah aku, keluhnya.
Astri juga
nampak semakin tegang, mulutnya bergerak-gerak, namun tak satupun kata yang
keluar dari mulutnya.
Para polisi
itu nampak sudah tidak sabar lagi. Lalu mereka membentak Astri.
“Cepat
jawab!”
Astri menunduk, Rendy
memandanginya dengan nafas memburu.
“I…..i….iya” Jawab Astri pelan.
“Apa?
Apa-apaan ini Astri?Lo mau menjebak gue ya?”Rendy berteriak sambil mencoba
berdiri. Namun polisi di sampingnya langsung menelungkupkannya ke lantai yang
dingin.
“Baik, semua
sudah jelas! Bawa mereka ke sel masing-masing!”perintah seorang polisi yang
paling senior.
“Tidak, tidak,
tidak!” Rendy berteriak panik.
Terlambat.
Dua polisi sudah mengiringnya ke arah sel-sel tahanan.
Saat
berpapasan dengan Astri di dekat pintu ruang interogasi, Rendy memaki sengit.
“Gimana
Tri? Puas lo sekarang menjebak gue? Puas lo? bangsat lo!” maki Rendy penuh
emosi.
“Ren,
sekarang kita bisa bersama lagi di sini khan? bukankah kamu selalu memintaku
untuk terus bersamamu?” jawab Astri dingin.
“SETAAANNN
LOO!! Jadi inikah arti cinta lo selama ini??” teriak Rendy.
Polisi-polisi tadi tetap menggiring mereka ke sel-sel tahanan.
Rendy
merasa semua makin gelap.